katantyra

Tanty · @katantyra

19th Jan 2013 from Twitlonger

A Zayn love story #ZLS
"Truly, Madly, Deeply" #Part17
Part XVII -New Place, New Life-


Written by: min Tan





Have a good reading!:-)









“Learn to appreciate what you have, before time forces you to appreciate what you had. Because sometimes it takes absence to value presence. And it hurts to say I love you, since what once was there, was not there anymore” (Nares)


5.39pm
Terminal 1: British Airways
Heathrow International Airport, London

Hujan benar-benar tak pandang bulu, mengguyur tanpa ampun kota London sore ini. Langit lebih kelabu dari biasanya. Berwarna biru tua, khas langit mendung, menciptakan setitik awan putih yang melayang indah di dekatnya. Nares turun dari taksi tersebut sambil merapatkan mantel perjalanannya, berharap angin berhenti menggelitik kulitnya yang tak terbiasa dengan udara dingin London. Ia membantu Vazil mendorong trolley yang berisi kopernya menuju pintu transmigrasi sambil mengeluarkan dua buah buku paspor dan beberapa lembar kertas boarding pass dan tiket dari tas tangan Louis Vuitton kesayangannya yang tampak merah menyala diantara pakaian lainnya yang berwarna hitam.

Setelah selesai pengurusan transmigrasi, ia segera beranjak menuju tempat duduk kosong yang ada di dalam ruang tunggu dan duduk dengan tenang sembari memperhatikan liputan cuaca yang disiarkan di televisi.

“Nares, mau gak?” tawar Vazil sambil menyodorkan sebuah paper cup dengan asap mengepul di atasnya

“Hah? Itu apaan?” tanya Nares polos dengan bahasa Indonesia yang terdengar aneh di telinga para orang asing di London

“hot chocolate, mau gak?” tanya Vazil sekali lagi

“oh mau dooong, kirain mas Ajil belinya kopi abis baunya kopi sih”

“gue emang beli kopi, tapi kan gue tahu lo gak suka kopi ya jadinya nih mau gak sih nih? Gak diambil-ambil lagi, panas tau” omel Vazil

“hahaha maaf-maaf, makasih ya mas ku yang paling ganteng dunia akhirat” puji Nares manja

“iya sama-sama” jawab Vazil ketus, “ya iyalah gue mas lo yang paling ganteng duni akhirat, orang mas lo Cuma satu, Cuma gue doing. Ya otomatis lah paling ganteng, tapi paling jelek juga” gerutu Vazil

“hahaha enggakok, mas Ajil kan ganteng gak ada jelek-jeleknya. Ganteng dunia akhirat kan aku bilang”

“whatever”

***

"Good afternoon passengers. This is the boarding announcement for British Airwayswith flight number 976A due the destination to Amsterdam. We are now inviting all the passengers to begin boarding at this time. Please have your boarding pass and identification ready. Thank you."

Nares hampir saja sudah beranjak dari tempat duduknya mendengar panggilan penerbangannya sebentar lagi untuk boarding, ketika ia mendengar suara gaduh di belakangnya. Ia tak begitu memperhatikan kondisi bandara Heathrow, kecuali tetesan air yang hampir membasahi seluruh permukaaan lantai dan hampir membuat genangan di beberapa titik yang menetes dari tubuh sekitar enam laki-laki yang datang berlari dengan tergesa-gesa.

“ZAYN?!” sahut Nares terpekik kaget melihat ternyata itu adalah One Direction. Nares tak pernah tahu waktu berjalan begitu cepat ketika Zayn telah berlari meraihnya ke dalam pelukannya yang terasa basah di luar mantel Nares. Nares masih bisa merasakan betapa kencangnya detak jantung Zayn saat ini, betapa nafas Zayn terengah-engah sehabis berlari, betapa hangatnya nafas Zayn berhembus di sekitar leher Nares.

Pelukan itu berlangsung cukup lama, setidaknya cukup lama untuk membuat Zayn mengenang segala detik dan waktu yang ia habiskan beberapa minggu belakangan ini untuk bercengkrama dengan gadis cantik di dalam dekapannya ini. Pelukan itu cukup untuk membuat Zayn tersadar bahwa waktu masih menghantui mereka. Maka Zayn pun melepas pelukan tersebut.

“this is for you” ucap Zayn sambil menyerahkan sebuah box besar berwarna pink cerah, “you always love the color of pink, right?” tanyanya sambil membelai wajah Nares yang terasa hangat, begitu kontras dengan tangan Zayn yang terasa sedingin es

“I do, and thank you for everything. Thank you for sharing your room when we were in Sydney, thank you for bringing your friends watching my dancing show, thank you for cuddling me up during the coldest moment, thank you for guarding me in London, thank you for always minding me whenever I forgot about you, thank you for always taking care of me even I already fell asleep, thank you for the shoulders when I cry, thank you for making me laughing, thank you for making me smile with just seeing you there, thank you for the love you’ve always given to me. And last but not least, thank you for being the reason of my smile for the past 3 weeks. Thank you” ucap Nares sambil terisak membawa kedua tas dan kini bertambah dengan kado yang diberikan Zayn

“a pleasure to me. And I would like to thank you for being able to share a room with me in Sydney, thank you for giving me and my friends such a show to be amazed at, thank you for handing your hand to cuddle during the coldest moment, thank you for being a good girl in London, thank you for always remind me of you whenever you forgot about me, thank you for being the cutest angel when you sleep, thank you for crying on my shoulders so I got the chance to hold you, thank you for sharing you laugh with me, thank you for smiling when you see me, thank you for the love of mine you’ve always accepted. And last but not least, thank you for making me the reason of your smile for the past 3 weeks. Thank you” ucap Zayn membalas semua perkataan Nares. Menyeka air mata Nares yang merembes turun di kedua pipi Nares. Ya, memang Zayn terlihat tegar di luarnya, tapi taka da yang pernah tahu bahwa hati Zayn sama hancurnya melihat Nares harus meninggalkannya sekarang juga. Dan fakta berikutnya yang tak kalah menyakitkan adalah bahwa ia tak tahu kapan ia dapat melihat Nares lagi. Mungkin besok, mungkin minggu depan, mungkin tahun depan, atau mungkin tak lagi melihatnya. “Ssshh, don’t you cry Nares, I told you, crying doesn’t make you any prettier, so stop crying and smile. For me. For the last time”

Nares memaksakan bibirnya menarik senyum ke kedua arah bibirnya yang berlawanan, membentuk selengkung senyum cantik walau air matanya masih berderai deras. Tapi seperti yang dibilang Zayn tadi, tersenyumlah. Untuknya. Untuk terakhir kalinya. Maka Nares pun tersenyum, jenis senyum memilukan, senyum pahit yang terpaksa dimanis-maniskan hanya untuk membahagiakan orang lain. “I will. And this smile is for you” lanjut Nares sambil kembali terkulai melingkarkan kedua tangannya di leher Zayn, membenamkan isak tangisnya di leher Zayn.

"This is the final boarding call for passengers Alvazil Kromowiryo and Nareswari Kromowiryo booked on British Airways with flight number 967A due the destination to Amsterdam. Please proceed to gate 2 immediately. The final checks are being completed and the captain will order for the doors of the aircraft to close in approximately five minutes time. Thank you."

“Nares, your flight is waiting for you. And I cant go any further, this is as far as I can go. Maybe I’m staying here, but just bring my love with you” usap Zayn di punggung Nares selembut mungkin, “but always bear in your mind, never forget that if you feel like no one loved you, always remember I’m here loving you. Here and there. Now and then. Forever and always. And that will never change, I love you, Nares” ulang Zayn mengulangi kata-katanya tadi siang. Melepaskan dekapan Nares dan mengecup kening Nares perlahan. Menumpahkan seluruh cinta yang tersisa yang terasa sesak memenuhi paru-parunya. Memberikan kehangatan sebanyak yang ia bisa, untuk yang terakhir kali.

“I love you too Zayn, just as much as you do. And if you feel like you’re missing me, just remember that you’re here near my heart, forever and always. Because I love you till the end, and there’s some more” ucap Nares singkat, lalu berjingkat untuk memberikan kecupan singkat di pipi kiri Zayn. Ia lalu berbalik dan membawa segala bawaan kabinnya dan melambai sekali lagi pada sisa laki-laki yang lainnya lalu menggandeng Vazil dan segera menaiki belalai pesawat untuk akhirnya benar-benar meninggalkan London.

Benar-benar meninggalkan London dalam arti yang sebenarnya, meninggalkan cintanya yang ia rajut sebulan terakhir ini.

***

Pesawat yang mereka tumpangi baru saja lepas landas lima belas menit yang lalu. Ketika Nares sedang duduk manis di salah satu bangku di kelas utama di pesawat tersebut. Nares mengeluarkan headphone yang ada di kantung kursi di depannya dan memasangnya di layar LCD di hadapannya. And she just drags some songs randomly to her playlist. Not being really care to bother what the songs are. So there she just clicks the shuffle icon and let it plays her songs on the list. And here it is Stop Crying Your Heart Out from Oasis but covered by Leona Lewis coming out, she was like 'crap, I'm not crying over him, not again'

Tapi tangannya tak bergerak untuk mematikannya. Ia tetap bergeming pada posisinya. Menatap jendela di sebelah kirinya, memperhatikan gumpalan awan yang bergerak cepat dari sudut pandangnya. Tetap bergeming pada tempatnya bahkan ketika Leona Lewis sudah mulai bernyanyi merdu di telinganya.

Hold up
Hold on
Don't be scared
You'll never change what's been and gone

'I know that right, I'll never change it' batin Nares meratapi

Cause all of the stars have faded away
Just try not to worry
You'll see them someday
Take what you need
And be on your way
Stop crying your heart out

Setitik air mata itu turun dari pelupuk matanya. Lama-kelamaan menjadi sedikit lebih banyak. Hatinya sesak penuh rasa kehilangan. Cintanya terhempas jauh di bawah permukaan tanah. Belum apa-apa, bahkan ia telah banjir dengan air mata.

When all of the stars were fading away
Just try not to worry
You'll see us some day
Just take what you need
And be on your way
And stop crying your heart out,
Stop crying your heart out

'Stop it, you damn silly me'

***

*Vazil's POV*

It's only 15 minutes away from him and she's crying a river. Crap, what did he do to her? Why can't she just let him go? Oh God, I feel like I'm killing my baby sister

"Nares, take off your headphone!" Perintahku ke Nares, tapi sepertinya Nares tak mendengarnya. Kecuali ketika siku-ku menyenggol pelan badannya

"Uh w-wh-what?" Tanyanya terbata sambil menghapus air matanya, good now everyone's gonna think I'm the one who hurt her

Aku menarik nafas panjang dan terdiam untuk beberapa detik, memikirkan kata apa yang tepat untuk ku tanyakan. Agar bisa dijawab dengan benar tanpa menyakitinya lebih dalam lagi, "what happened to you? What happened to him?"

"Nothing." Jawabnya singkat, menatap ke kedua tangannya yang dipangku di atas kedua pahanya. Merenung barangkali. Memikirkan dirinya yang malang, dalam pikirannya ia sedang malang kan?

"You know I'm your brother and you can tell me everything. It's just... Hurts, to see you crying over something and there's nothing I can do about that" jelasku panjang. Lalu aku mengikuti langkahnya, mengeluarkan headphone dari kantung kursi penumpang di depanku dan memasukkan ujungnya ke LCD di hadapanku

Tapi lagi-lagi langkahku terhenti, sebelum aku memakai headphone itu, tiba-tiba ia berucap. Lirih, mungkin hanya berbisik, "what about if your baby falls for someone out there and there's nothing she can do about him?" Tanyanya dengan suara tercekat, menimbulkan air mata yang sudah mati-matian ia tahan akhirnya keluar lagi

Aku kembali meletakkan headphone itu, mengurungkan niatku sebelumnya. Menyentuh layar bergambar sebuah persegi berwarna putih bertuliskan 'stop'. Menoleh ke sisi kiriku, memperhatikan gerak gerik adik kecilku yang terduduk mematung di kursinya yang terasa terlalu luas saat ini, "I knew that, you and that Mr. Malik boy. I know, don't you think you are everywhere spreaded every second on my tv?" Tanyaku pelan, aku tak ingin terlihat mengguruinya saat ini. Mungkin ia hanya butuh didengarkan, bukan diceramahi, "what happened to you and him? You're breaking up?"

"Worse..." Jawabnya lagi, singkat. Tapi aku tahu ada nada yang menyakitkan di dalamnya, ada sakit hati yang luar biasa besar di balik satu kata yang berdiri dari lima huruf itu. Bahunya terkulai lemah, kepalanya menengok ke arahku, bersandar pada jendela pesawat yang tak tertutup penghalang, "have you ever feel that one when you love someone but you just can't have him?" Tanyanya dengan, sekali lagi, air mata yang menggumpal

"Probably never" jawabku sambil menegakkan badanku, menyandarkannya ke kursiku dan menghadap ke depan dengan mata terpejam, "how does it feel? How much it hurts?"

"Much worse than karma" jawabnya cenderung kaku, berusaha untuk tidak menghiraukan sakit hatinya

"Why can you both not be together?" Tanyaku lagi, menoleh kecil untuk melihat matanya yang terpejam dan desah nafasnya yang berat

Ia menarik nafasnya panjang lalu mencoba merangkai kata-katanya, menatapku dalam, "I'm in Indonesia right? And he's in London. What will I do? Distance sucks" ucapnya terang-terangan mengumpat

"Haha. Distance sucks. Isn't it cliche?" Tanyaku dengan nada yang menyinggung, "it's always a choice, whether to leave him or to stay. You just need to choose which one is"

"Then if I'm going back, does it mean I choose to leave him?" Tanyanya, nadanya sedikit bingung walau tersinggung

"It depends......" Jawabku menggantung, sengaja menyisakan ruangan di antara jawabanku, membuat ruang di kedua alisnya terhimpit oleh alisnya yang bertaut nyaris menjadi satu, "on you"

"Then it's not a choice, he was definitely a mistake for me. What happened between us is just a mistake, sooner or later this is going to be just a past story of mine" ucapnya bersikeras menyangkal bahwa ialah yang pergi meninggalkan lelaki itu, oke mungkin dia tidak mau dibilang sebagai 'the one that got away' but well she is it

"Then he was beautiful mistake" sahutku cepat dengan secercah senyum jahil terlengkung di wajahku.Ia menatapku galak, yang membuat cengiran di wajahku bertambah lebar. Oke, aku mungkin akan sangat menyebalkan di matanya, tapi kupikir ia butuh sedikit hiburan bukan?

"Come on..." Ucapnya memelas, "enough with teasing, I need it no more!"

"Alright, alright, baby girl" ucapku setengah terkikik, tapi segera berhenti ketika jarinya sudah menyentuh pinggang kiriku untuk menggelitik pinggangku, "when this plane landed in Amsterdam, stop calling him and move on with your life. Get a life, forget him. It'll be fine, I promise you" ucapku, maksudku aku tak ingin kan adikku sendiri yang harus menangisi hidupnya karena ia menyalahkan dirinya akan kehilangan cinta pertamanya, "if you doubt yourself, just let me know"

"Okay... Fair enough" ucapnya memikirkan tawaran solusiku, "but one condition, you're gonna be there when I need a help right?" Tanyanya seketika panik mendapati kenyataan bahwa ia butuh seseorang untuk bersandar

"I got you, baby girl" ucapku sambil mengecup lembut puncak kepalanya. Sebelum akhirnya memakai headphone ku dan menyetel lagu Coldplay yang ada di playlist-ku

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never you'll never know
Just what you're worth

Aku menoleh kecil untuk memastikan adikku tidak lagi menangis. Matanya masih menatap nanar jendela di sebelah kirinya. Air matanya menggumpal membuat matanya seakan berkaca-kaca. Aku tidak bisa menghentikan tangisannya sekarang, kami sudah berjanji bahwa ini adalah terakhir kalinya ia bisa menangisi lelaki itu. Sehabis itu ia berjanji untuk tidak menangis lagi.

Tears stream down on your face
When you lose something you can't replace
Tears stream down on your face
And I....

Dan yang paling menyedihkan adalah aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Jadi aku hanya disini, duduk termenung sambil memperhatikan adikku agar ia masih bisa tersenyum. Memastikan bahwa ketika waktunya ia akan berhenti menangisi kepergian ini. Memastikan bahwa aku sendiri yang akan membuatnya berhenti menangis.

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try
To fix you...


***


*Nares’ POV*
The D-Day
3.30pm
Amsterdam

Tiga hari sudah berlalu dari hari terakhir aku melihat wajahnya yang terpahat sempurna. Dan tak sedetik pun ia tak muncul di benakku, melayang-layang dengan anggun membuat miris hati siapa saja yang mengingatnya. Aku masih bisa mengingat bagaimana pahatan sempurna pada dagunya yang runcing, aku masih bisa mengingat bagaimana tulang pipi yang dengan anggun tak menonjol namun memberi bentuk simetris yang baik pada wajahnya, aku masih ingat tulang hidung yang dengan angkuh selalu menyembul diantara kedua matanya yang menjorok cekung, aku masih ingat seberapa tebal alisnya yang sering sekali bergerak mengikuti mimic wajahnya, aku masih ingat bagaimana ia selalu menata rambutnya dengan gel rambut. Dan masih dengan jelas terbayang di pikirku seberapa cranky-nya dia di pagi hari, seberapa manisnya dia di malam hari, seberapa hot-nya dia hari berangin dan seberapa menyejukkannya dia di tengah mentari yang semangat bersinar. Dan aku masih ingat, bahwa setiap detiknya aku selalu merindukan dia, tak sedetikpun aku tak merindukannya.

Setelah beberapa lama ini tak tampil, tampil untuk kesekian kalinya dengan beban pikiran berkecamuk tak pernah terlalu disarankan. Tetapi aku harus professional, aku disini bukan untuk terus memikirkan masa laluku, ada sesuatu yang lebih penting dari apapun di pagelaran sendratari sore ini. Juilliard dengan angkuhnya memasukkan tiga staff mereka untuk menculik beberapa penari yang akan mendapat seleksi khusus. Tentu saja ini merupakan berita baik untukku, seharusnya aku belum boleh mengikuti seleksi masuk Juilliard karena umurku belum mencukupi, tetapi karena ini adalah seleksi khusus maka aku diperbolehkan untuk mengikuti. Dan satu hal yang aku yakini, bagaimanapun caranya, aku harus seleksi tahap ini.

“Nareswari Annabeth Kromowiryo!!!” suara Tante Reva terdengar melengking di sore hari yang basah ini

“iya, Tante, bentar aku lagi beresin ini bentar” kilahku

“yaudah iya, cepetan ya, tante tunggu di mobil” jawabnya lagi

“oke…” sahutku cepat

Tante Reva, Revalina Arshan Kromowiryo. Tante Reva adalah adik kandung dad yang paling kecil. Tante Reva tinggal di Amsterdam sejak beberapa tahun yang lalu, sejak suksesnya ekspansi perusahaan multinasional milik dad. Ya, dad memiliki sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang analisis finansial. Dan mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu, sebelum dad ditunjuk untuk mewakili Indonesia sebagai duta besar untuk Amerika, dad melakukan ekspansi ke seluruh Asia dan Eropa. Syukurlah ekspansi atau perluasan perusahaan tersebut berjalan dengan baik. Tidak dipungkiri beberapa kendala serta gejolak ekonomi jelas mempengaruhi perusahaan ini, tetapi fase kritis pun akhirnya telah dilewati. Dan disinilah Tante Reva, bersama dengan Eyang Uti, menetap di Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Eropa.

Aku pun segera mengambil koper kecil berwarna hijau toska berisi pakaian menariku dan segera menarik sebuah mantel perjalanan berwarna broken white dan segera turun menuju pelataran parkir rumah Tante Reva.

“Nareswari” panggil sebuah suara yang dengan cepat membuatku tertengok ke belakang

“Uti?” tanyaku dengan bodohnya, “ada apa, Ti?”

“Het is oke.(*1) Uti Cuma mau bilang semangat narinya semoga kamu dapat apa yang kamu mau ya, Nak. Maaf Uti gak bisa nonton Nares, tetap semangat ya. Uti tau pasti kamu bisa. I know you can do it, veel succes!(*2)” ceramah Uti panjang lebar

“iya, Uti, gapapa kok. Yang penting Uti doain Aes ya biar Aes lulus seleksi ini. Oke?” jawabku masih tetap ceria

“Natuurlijk, mijn gebed will always get your back(*3)” ucap Uti sambil mengelus kepalaku pelan, “sudah gih, nanti Tante Reva kelamaan nunggu loh. Oh iya, mas Ajil, bunda dan dad sudah langsung kesana ya. Tadi mereka titip pesan begitu ke Uti. Ik hou van je(*4)”

“oke Ti, hati-hati dirumah ya. Love you too” ucapku sambil menutup pintu perlahan dan segera masuk ke mobil sedan hitam milik Tante Reva yang sudah terparkir di depan.


4.30pm
Royal Theatre Carre, Amsterdam


Nares dan Reva sudah tiba di salah satu gedung pertunjukan terbaik dan termewah untuk teater dan seni lainnya di pusat kota Amsterdam, Royal Theatre Carre. Carre, begitu biasanya gedung ini disebut, terletak di dekat sungai panjang yang mengalir di tengah kota Amsterdam, Sungai Amstel. Ia sudah beberapa kali masuk ke sini sebelumnya untuk berlatih dan menginjak-injak panggungnya yang mewah. Namun tetap saja mau sebanyak apapun ia masuk ke Carre ia pasti masih tidak mempercayai matanya karena akhirnya ia bisa berkeliling ke belahan dunia manapun karena satu hal yang ia cintai, menari. Ia segera berlari kegirangan di sela-sela kursi merah empuk yang mengitari panggungnya. Sementara di belakangnya, Reva berjalan dengan perlahan menikmati keanggunan gedung ini sekaligus mengamati gerak gerik ponakannya yang lama tak ia jumpai.

“Good evening, Ms. Kromowiryo” sapa Professor Dharma pada Reva dari belakang

“ah, professor Dharma, how nice to see you again!” sahut Reva semangat sambil menyalami Professor Dharma. Dulu sebelum ia pindah ke Belanda, ia juga menyenangi seni tari. Dan kebetulan Professor Dharma juga salah satu dewan guru di sekolah seni yang sama dengan Nares saat ini. Tetapi ia mengambil seni tari ballet bukan tari tradisional seperti Nares, sehingga ia tidak kebagian diajar oleh Professor Dharma, “how are you sir? Ternyata Professor Dharma masih sama seperti dulu! Semangatnya maksud saya” komentar Reva malu-malu

“ahahaha bisa saja kamu ini, Rev. yah masih begini-begini saja, selalu mencintai seni tari. Kamu sendiri, bagaimana keadaan kamu disini? Menyenangkan tinggal di Amsterdam?” tanya Professor Dharma

“yah, Indonesia selalu terkesan lebih baik daripada Belanda. Amsterdam tidak pernah terlalu bersahabat dengan kulit saya, Professor ahahaha” jawab Reva jenaka

“ahahaha kamu ini. Ngomong-ngomong, ponakan mu itu loh, Nareswari.”

“iya, dia kenapa?”

“oh dia tidak apa-apa. Malah saya terkadang terlalu terkejut dengan fakta yang ia miliki, dengan kekayaan keluarganya yang sebesar ini dia masih mau untuk menekuni bidang tradisional ini, dan bakat alaminya ituloh, sangat… mengagumkan!” komentar Professor Dharma

“oh, saya kira kenapa Professor, syukurlah dia tidak berbuat yang aneh-aneh. Ya memangsih ini terkesan terlalu klise untuk seorang gadis muda seperti dia. Tapi ya biarkanlah, dia mencintai seni tari ini”

“ya, benar sekali. Saya terlalu terpaku dengan fakta bahwa generasi ini terlalu cuek dengan segala kebudayaan yang kita miliki, sebelum akhirnya dia datang dan membuka mata saya bahwa tak semua yang indah bisa menjadi busuk di dalamnya” terang Professor Dharma, “omong-omong, hari ini kita kedatangan tamu penting”

“tamu penting? Sang ratu maksud professor?” tanya Reva tanpa sadar alisnya berkedut masuk

“oh tidak-tidak, bukan beliau. Hari ini kita kedatangan tiga dewan guru besar Juilliard, dan saya rasa kamu sebagai wali Nares bisa mengizinkan Nares jikalau seandainya Nares akan lulus seleksi ini” terang professor Dharma, “dan saya yakin dia akan lulus dengan nilai yang baik” lanjutnya lagi

“oh tentang 3 juri itu? Saya yakin orang tua Nares akan dengan penuh mendukung apapun yang menjadi keputusan Nares. Mengingat mereka begitu mendukung kegiatan putra-putri mereka” jawab Reva

“ya, benar juga. Oh iya kok aku tidak melihat yang lainnya, mana orang tua Nares?” tanya Professor Dharma

“ah, benar juga… seharusnya mereka sudah tiba sejak setengah jam yang lalu di bandara. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan ke sini sekarang”

“oh begitu, ya sudah saya hanya ingin meminta persetujuan kamu untuk mengizinkan Nares, itu saja. Ah iya, tolong jangan lupa untuk memberitahu orang tua Nares tentang hal Juilliard ini ya?”

“tentu saja, Professor, dengan senang hati saya akan memberi tahu mereka. Siapa yang tidak bangga ketika putri mereka lulus seleksi khusus masuk Juilliard dengan begitu mudahnya?” puji Reva terhadap Nares, “dengan bantuan tangan yang benar tentunya hahaha”

“ahahahaha, terimakasih”

***

Wajah Nares sudah berhias makeup tebal khas penari ketika telepon genggamnya berbunyi menandakan ada pesan singkat yang masuk. Ia mengumpat sedikit karena tak bisa mengambil iPhone nya yang terletak jauh darinya, sementara ia sedang tak bisa bergerak karena sedang dipakaikan baju menarinya yang super repot. Tapi tak pelak ia diam dan menunggu hingga proses pemakaian bajunya selesai semua. Setelah selesai semua ia segera mengambil iPhone-nya yang terletak di meja rias tempat ia tadi dirias.

‘perasaan tadi gue udah bilang bunda kalo ada apa-apa biar telefon tante Reva aja, kok sekarang masih juga di sms sih?’ gumamnya pelan dalam hati sambil menyusun password pada layar iPhone-nya yang terkunci, ‘lah Harry? Ada apa dia sms gue?’ tanyanya bingung pada sebuah nama yang terpampang di layar wallpaper iPhonenya

“I kno its ur d-day. Good luck! I kno ure gonna make ‘em proud and down on their knees bcoz of ur show. Have a good day, I love you! –HS”

Begitu yang tertulis di layar iPhonenya, ah ternyata dia memberi semangat untuk hari ini. Syukurlah Nares piker ada apa, ia segera membalas sms tersebut. Sebenarnya bukan Harry yang ia harapkan untuk memberikan semangat singkat tersebut, ia lebih berharap seseorang yang selama ini mengiriminya pesan selamat malamlah yang memberikan pesan singkat tersebut. Yaps, siapa lagi kalau bukan yang mulia Zayn Malik, pria yang membuat wanita manapun jatuh terduduk melihat wajahnya. Cinta pertama Nares, satu-satunya pria yang bisa membuat Nares menggigil karena menyebut namanya dalam hati, satu-satunya pria yang bisa membuat Nares bergetar hebat karena menulis namanya di selembar kertas.

Belum begitu lama Nares berbengong ria karena memikirkan Zayn, ia sudah dipanggil untuk melakukan ritual awal mereka sebelum tampil. Apalagi kalau bukan circle prayer? Yaps, seluruh penari beserta crew akan membuat sebuah lingkaran dan berdoa untuk kelancaran pertunjukkan mereka hari itu.

“Today we gather here again for our world tour, finally Europe! WOW!” sahut Kinanti, road manager mereka selama world tour ini, “Alhamdulillah akhirnya Allah berbaik hati sama kita semua untuk bisa nginjek-nginjek Carre theatre, gak tau harus gimana lagi pokoknya semoga show ini lancer dan peniliaian kita baik, amiiin. Silahkan professor Dharma mau ngomong apa”

“ya saya gak mau bicara banyak-banyak, asal kalian tahu saya memberikan harga diri saya kepada kalian malam ini, entah untuk diinjak-injak atau dilambungkan tinggi. Intinya saya ingin kerja keras kita semua gak sia-sia selama ini, saya ingin kalian tampilin apa yang selalu kalian tampilin, bukan lagi Nares bukan lagi Anto, tetapi Shinta dan Rama. Selamat dan sukses untuk kalian semua! Berdoa mulai” ucap Professor Dharma mengawali doa mereka sore menjelang malam itu

‘yaAllah, malam ini aku bakalan nari lagi, buat bunda buat daddy buat tante Reva buat mas Ajil dan buat semua orang yang udah mencintai aku sepenuhnya. Aku mau aku bisa ngeliat senyum mereka karena bangga sama aku, aku mau aku bisa banggain bunda dan daddy dengan lulus seleksi ini, ya Allah. Aku mau kepercayaan daddy dan bunda selama ini gak sia-sia, aku gak mau ngecewain mereka. Bukan untuk aku, untuk mereka, yang saying sama aku’ gumamnya perlahan memanjatkan doanya dalam hatinya, berharap agar malam ini penampilannya tak mengecawakan. Jika semuanya membanggakan, ini bukan miliknya, ini milik mereka semua yang pernah dan akan selalu mencintai Nares seutuhnya. Bunda, daddy, mas Ajil, Hanna, tante Reva, Uti, dan mereka yang tak pernah tersebut tetapi selalu diingat, Zayn Malik.

“amiiin…” ucap professor Dharma mengakhiri doa mereka semua, “semangat semuanya sekali lagi selamat dan sukses untuk kalian!” lanjut professor Dharma

“INDONESIA, YES WE CAN!” ucap mereka semua menyatukan tangan masing-masing sebagai tanda pemersatu dan optimisasi usaha mereka malam hari itu

Masih ada waktu 30 menit sebelum akhirnya pertunjukkan akan benar-benar dimulai, karena sekarang masih prakata pembuka baik dari Professor Dharma dan Bu Kinanti. Nares terduduk di depan kaca riasan yang menampakan seorang wanita dalam balutan busana menari khas Jawa yang terpoles sempurna, cantik. Ia menatap refleksi dirinya yang menampakkan kecemasan, bukan apa-apa Juilliard adalah mimpinya sejak kecil. Tak mengherankan detak jantung yang tak beraturan selalu menghiasinya tiap kali nama Juilliard ia sebut.

Tiba-tiba telepon genggam Nares berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Tak pelak ia mengutuki telepon genggamnya sebelum ia melihat siapa yang menelfonnya. Tapi tak begitu setelah ia melihat nama yang tercatat di layarnya. Empat huruf. Satu huruf vocal. Satu wajah yang terbayang. Dan beribu detik terindah yang mereka habiskan bersama. Zayn.

“Hello?” angkat Nares agak canggung dengan suara bergetar

“Hello my Barbie girl!” sapa Zayn tanpa ragu, “well I know I’m almost late, I just want to let you know, whatever you do tonight I hope you give your best shot tonight. Don’t ever bring me down. Good luck my sunshine!” ucap Zayn lantang tanpa terbata, "I hate to say this but I regret it that I wasn't there to see how beautiful my princess is"

“thank you so much for calling me, you know it means the world to me! And thank you for everything, I hope you could watch me here just like when we were in Sydney. And I will make you proud of me, no more, no less. I promise” jawab Nares yang sepertinya moodnya telah berubah 180 derajat, dari terlalu takut menjadi optimis. Dari harapan menjadi kenyataan

“yeah, that’s my girl! And never forget whenever you felt like no one loved you, remember always I’m here loving you. Here and---“ kata-kata Zayn terputus oleh Nares

“Here and there. Now and then. Forever and always. And you know what Zayn? That’s kind of my spell whenever I’m down”

“sounds great isn’t it?”

“yes it is! Anyway Zayn, I think it’s almost my time, fuhhhh”

“right. Good luck my pretty brightest star, remember the love between us. I love you!”

“I love you too”Klik. Sambungan pun terputus. Nares meletakkan telepon genggamnya di meja rias dan segera beranjak keluar menuju salah satu kru yang sudah memanggil namanya dengan aksen Belanda yang kental, memnbuat namanya terdengar aneh bahkan di telinganya sendiri. Dan kini dengan badan tegap serta wajah terangkat, ia berjalan dengan anggun. Sementara bajunya bergemerincing terseret karpet tempat ia berjalan. Bukannya angku, hanya saja kini ia benar-benar mempercayai dirinya. Bahwa ia bisa melakukan apapun mala mini. Bukan hanya Juilliard yang harus ia dapat, segala sesuatunya berawal dari ketulusan hati untuk melakukannya. Dan malam ini, bukan Juilliard yang menjadi alasan menarinya yang cantik, tetapi sesuatu yang ia cintai. Bahkan lebih dari cintanya terhadap dirinya sendiri, bahkan lebih dari cintanya terhadap seni tari. Seseorang yang selama ini mewarnai hidupnya. Seseorang yang selama ini memberinya sebuah alasan untuk tetap tersenyum. Seseorang yang selama ini mengajarinya arti bahwa hidup butuh cinta, dan cinta patut untuk diperjuangkan.

'Aku tahu bahwa seharusnya aku sudah tidak boleh mengharapkannya lagi, tapi Tuhan, biarkan aku mencintainya dengan caraku. Dalam diam, dalam gelap, dalam cara apapun yang ia tak perlu tahu.'


***



(*1) it's okay//tidak apa-apa
(*2) good luck//semoga sukses
(*3) of course, my prayer will always get your back//tentu saja, doaku selalu menyertaimu
(*4) I love you//aku menyayangimu






























hello my dearest-beautiful readers, maaf ya untuk ketertundaan dalam posting part 17 nya :( but here I hope it can make it up to you :) I hope you love this part, please send me some words. I love you! :)



xoxo
Tanty

Reply · Report Post