Untuk Seorang Terpidana Yang Sedang Menjalani Asimilasi



Oleh: Mega Simarmata, Editor in Chief KATAKAMI




Jakarta, Selasa 6 Oktober 2015 (KATAKAMI) --- Bukan cuma satu kali saya mendapat pesan bahwa ada seorang tokoh yang berstatus terpidana kasus pembunuhan, terus menerus sangat ingin berkomunikasi (dan bertemu?) dengan saya.

Yang pertama, seorang penulis menghubungi saya dengan cara mengirimkan pesan Direct Message di twitter.

Yang kedua, seorang pengacara mengatakan bahwa ia sudah lama diminta oleh terpidana itu untuk mencari tahu dimana dan bagaimana bisa menghubungi wartawati bernama Mega Simarmata.

Apa latar belakangnya sehingga saya dicari?

Sebab terpidana itu patut dapat diduga ingin balas dendam terhadap institusi tertentu, tempat dimana saya meliput selama ini.

Topik soal keinginan terpidana yang sangat amat ingin berinteraksi dengan diri saya, terlebih saat dimana sekarang beliau sedang menjalani proses asimilasi, saya diskusikan keinginannya itu dengan seorang sahabat yang notabene adalah anak dari seorang purnawirawan jenderal bintang 4 di institusi tertentu (yang markasnya di seberang Lapangan Bhayangkara).

Sahabat saya itu bilang begini, "Mau apalagi sih? Bukannya selama ini dia sudah sibuk berbisnis tambang batubara. Kantornya kita tahu, di dekat Bidakara sana. Dia join dengan Pak.... (Pensiunan Pati bintang 3").

Saya pun takjub mendengar informasi ini.

"Wah luar biasa, punya bisnis tambang batubara rupanya. Kesan yang tampak, kok kayaknya menderita dan tak berdaya karena sedan dipenjara" kata saya sembari takjub.

Yang ingin saya sampaikan adalah, Indonesia ini negara hukum.

Dan hukum, harus jadi panglima di negaranya sendiri.

Hukum itu, tak bisa, dan tak boleh ditempatkan di wilayah abu-abu.

Hukum adalah hukum.

The law is the law.

Ketika sebuah penegakan hukum telah dilakukan, dendam bukanlah jawaban atas semua itu.

Apalagi jika ingin menyeret masuk seorang jurnalis yang tak ada sangkut pautnya, hanya karena sang jurnalis mengenal, meliput dan banyak berkawan dengan para narasumber di sebuah institusi penegakan hukum yang ada di Indonesia.

Saya meliput di TNI sejak tahun 1993.

Saya menjadi wartawan istana selama 10 tahun, dari tahun 1999 sampai 2009.

Saya meliput di Polri sejak tahun 2005 sampai sekarang.

Yang perlu saya kritik, pasti saya kritik, sepanjang kritikan itu memang baik dan bersifat konstruktif.

Mengkritik, tidak berarti menghancurkan institusi tersebut.

Mengkritik adalah untuk maksud dan tujuan yang positif.

Jadi, jangan pernah sekalipun ada yang menganggap dan berusaha menggunakan wartawan untuk menjadi alat bagi kepentingan yang bertentangan dengan jatidiri seorang wartawan.

Hormatilah hukum.

Dan semua orang di negara ini, sama kedudukannya di muka hukum.

Equality before the law.

Semua orang sama kedudukannya di muka hukum.

Siapapun dia.

Entah itu ayah kandung.

Atau ibu mertua, atau atasan, atau bawahan, atau tokoh, atau jenderal, atau Ketua KPK, atau tentara, atau siapapun yang memang melakukan perbuatan melawan hukum, maka biarlah hukum yang berbicara dan bertindak.

Bukan karena faktor usia yang dianggap masih sangat muda, atau sudah lanjut usia, atau karena status sosial dan jabatan yang tinggi, maka orang per orang, merasa berhak dan dibenarkan melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk mengusik, mengintimidasi, menteror, merugikan, atau bahkan membunuh orang lain.

Ini negara hukum, Boss.

Itu saja yang penting dipahami. (***)





MS

Reply · Report Post