Perasaan Tidak Bersalah Ahok , Ahoker Dan Sebuah Media TV


Penulis : Abdulrachim K - Analis


Dalam vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim dalam perkara penodaan agama oleh Ahok disebutkan bahwa salah satu faktor yang memberatkan Ahok adalah bahwa dia tidak merasa bersalah . Keimpulan itu tentu diambil oleh majelis hakim berdasarkan fakta2 persidangan yang berlangsung selama 21 kali sebelum vonis hakim dijatuhkan , dan berdasarkan rapat majelis hakim yang terdiri dari 5 orang hakim .


Ahok tetap merasa tidak bersalah walaupun akibat ucapan dia di kepulauan Seribu 27 Sepember 2016 itu menimbulkan gelombang demo besar2an yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia pada tgl 14 Oktober 2016 , 4 November 2016 , 2 Desember 2016 , 11 Februari 2017 , 31 Maret 2017 , dan 5 Mei 2017 . Bahkan pada bulan November 2016 didunia medsos sempat diramaikan oleh isu kudeta sehingga Presiden Jokowi segera berkeliling mengunjungi berbagai markas pasukan elit TNI dan Polri untuk mengkonsolidasikan kekuatan pasukan elit , mulai dari Kopassus.di Cijantung , Korps Marinir di Cilandak , Korps Brigade Mobil di Cimanggis Depok , Kostrad di Cilosong , Paskhas AU di Bandung , Paspampres di Tanah Abang .


Dan pada aksi umat Islam pada 2 Desember 2016 telah memaksa Presiden Jokowi untuk menemui massa umat Islam yang berjumlah satu juta orang di Monas dalam suasana emosi yang panas sehingga menimbulkan resiko yang besar bagi Presiden bilamana ada peserta demo yang berbuat nekat .


Ahok tetap merasa tidak bersalah walaupun telah menggerakkan para Ahoker untuk bergerak di dunia medsos dengan tim buzzer yang membuat ribuan akun robot yang membuat situaso di dunia medsos menjadi sangat panas selama 8 bulan sehingga sangat meningkatkan suhu politik .


Padahal Ahok sebagai pelaku dalam kasus penodaan agama telah mendapatkan perlakuan2 istimewa dibandingkan dengan para pelaku penodaan agama sebelumnya yaitu tidak langsung ditangkap dan ditahan . Arswendo langsung ditahan , Permadi langsung ditahan , Lia Aminudin yangmendirikan agama baru langsung ditahan , Saleh ( beragama Islam ) pelaku penistaan agama dan ulama besar KH. As'ad Syamsul Arifin di Situbondo tahun 1996 ( masih jaman Orba ) ,langsung ditahan . Kasus Saleh ini akhirnya mengakibatkan dibakarnya 24 gereja dan sekolah kristen di Situbondo dan sekitarnya dan mengakibatkan seorang pendeta yang berumur 71 tahun beserta istri dan 3 anggota keluarganya tewas terpanggang dalam rumahnya yang dikompleks gereja dibakar oleh massa .


Ahok juga diistimewakan sehingga menjadi kasus diskriminasi hukum yaitu ketika statusnya telah menjadi TERDAKWA , Ahok tidak dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur DKI . Padahal jelas2 menurut pasal 83 UU no 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kepala daerah yang berstatus terdakwa dengan ancaman hukuman paling sedikit 5 tahun harus diberhentikan sementara .


Ahok tetap merasa tidak bersalah walaupun tim penasehat hukumnya telah melakukan sendiri penyadapan percakapan tilpun antara SBY dan Ketua MUI Ma'ruf Amin atau hanya penadah dari hasil sadapan suatu Badan Intelijen , dimana perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana yang menganggu atau me-mata2 i kehidupan pribadi warga negara . Sebelum adanya sidang penodaan agama oleh Ahok , bahkan dijaman Orde Barupun yang otoriter dan para intel bertebaran di-mana2 , belum pernah ada pameran secara terbuka ke masyarakat , adanya penyadapan tilpun antar pribadi warga negara . Tetapi dalam kasus ini karena Ahok dilindungi oleh Parpol2 pendukungnya maka kasus pidana penyadapan ini tidak diproses ke penyelidikan , penyidikan sampai diajukan ke pengadilan . Suatu bukti lagi bahwa Ahok mendapat keistimewaan dalam hukum Indonesia akibat didukung oleh modal yang sangat kuat .


Demikian juga para Ahoker yang merasa Ahok selalu benar , Ahok tidak pernah bersalah . Bahkan ketika vonis hakim menyatakan Ahok terbukti melakukan penistaan agama dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan segera masuk penjara , Ahoker mengadakan demo di-mana2 , di Penjara Cipinang , di Mako Brimob , di Pengadilan Tinggi , di bundaran HI , di berbagai kota dan menyatakan keadilan telah mati . Bahkan ada seorang Ahoker , Veronica Koman , yang berpidato ber-api2 yang menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi jauh lebih buruk daripada pemerintahan SBY , yang membuat menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo marah besar . Padahal pada waktu Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Ahok dibebaskan ( tuntutan hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun secara praktis adalah tuntutan agar Ahok dibebaskan ) , suatu tuntutan yang bertentangan dengan keadilan karena sejak jaman Belanda penista agama selalu dihukum penjara , Ahoker diam2 saja , menikmati ketidak adilan ini . Jaksa Agung adalah kader partai Nasdem yang mendukung Ahok . Karena itu JPU menuntut agar Ahok dibebaskan .


Ahok dan Ahoker termasuk tim buzzer nya di media sosial yang membuat ribuan akun robot yang berbiaya sangat besar juga selalu memutar balikkan isu dan kata2 yang beredar di masyarakat luas . Misalnya umat Islam yang sangat tersinggung dengan penistaan agama oleh Ahok sehingga mengadakan berbagai demo besar2an menuntut agar Ahok dihukum penjara , maka oleh para Ahoker diputar balik , dikatakan sebagai anti keberagaman , anti Bhineka Tunggal Ika . Ahok yang memulai aksinya menista agama pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu (bahkan pada 2008 Ahok telah membuat buku soal Al Maidah 51 ) , ketika timbul reaksi dari umat Islam , maka diplintir oleh Ahok dan Ahoker se-olah2 umat Islam yang anti persatuan , umat Islam yang intoleran . Hal ini di-ulang2 , di blast ( disebarkan dengan masiv ) , di media sosial .


Namun semua isu2 yang dilancarkan oleh Ahok dan Ahoker di medsos dan media2 lainnya tidak akan mempunyai efek yang besar di masyarakat apabila tidak diperkuat secara masiv oleh sebuah media TV yang nyata2 berusaha sangat keras agar Ahok memenangi Pikada DKI . TV ini sudah tidak netral lagi , TV ini sudah tidak mengikuti etika jurnalistik yang harus seimbang ( cover both side ) , tetapi berat sebelah . Dari sejak adanya survey2 Pilkada DKI hanya surveyor2 yang memihak Ahok , yang melambungkan angka2nya Ahok yang ditampilkan di TV ini . Para analis politik yang diwawancarai untuk Pilkada DKI yang ditampilkan adalah yang memihak Ahok dan paling2 diimbangi dengan analis yang hanya berani netral dan tidak tajam . Kalau surveyor yang benar2 menampilkan data lapangan yang faktual , tidak merekayasa se-olah2 Ahok yang menang , tidak bisa ditayangkan oleh TV ini .

Demikian juga didalam menyiarkan proses peradilan penodaan agama oleh Ahok , TV ini hanya menampilkan analis2 hukum yang condong kepada Ahok . Pernah sekali menampilkan seorang analis hukum yang benar , netral apa adanya , seorang Profesor hukum dari UI , tapi ternyata mengecewakan TV ini , dan selanjutnya Profesor UI tersebut tidak pernah ditampilkan lagi . Tetapi hasil analisa analis hukum yang condong memihak kepada Ahok disiarkan ber-ulang2 pagi siang malam ber'kali2 untuk mempengaruhi opini publik .


Media TV yang sangat agresif ini sudah tidak mengikuti etika jurnalistik tetapi sudah menjadi corong atau terompet suatu kepentingan tertentu atau Partai tertentu . Hal ini mengingatkan kita kepada jaman Orde Lama dimana setiap Partai Politik mempunyai koran sendiri . Misalnya Partai Komunis Indonesia mempunyai koran Harian Rakyat. Partai Nasional Indonesia mempunyai koran Suluh Indonesia . Partai Nahdlatul Ulama mempunyai koran Duta Masyarakat dsb. Tetapi yang paling agresif adalah Harian Rakyat milik PKI . Sama , koran2 ini telah membuat suaana politik dijaman Orde Lama menjadi gaduh , riuh rendah , hal kecil di-besar2 kan , dan akhirnya terjadi gerakan kudeta G 30 S dan merubah semua tatanan politik Indonesia . Yang tidak sama adalah bahwa media TV ini menggunakan frekwensi milik negara yang seharusnya isi siarannyapun diabdikan kepada kepentingan negara . Frekwensi itu seperti tanah . Tidak bisa bertambah . Ketersediaannya terbatas . Memang ada teknologi baru digital yang bisa mengefisienkan penggunaan frekwensi . Tetapi penggunaan frekwensi ini bukan seperti menerbitkan koran , majalah , tabloid dll yang bisa se-banyak2 nya . Frekwensi adalah milik negara karena itu harus mengabdi kepada kepentingan negara .


Dari proses Pilkada DKI yang lalu yang sangat gaduh sampai2 menimbulkan demo ratusan ribu sampai dengan 1 juta massa yang akhirnya memunculkan rumor kuat bahwa akan terjadi kudeta , permusuhan antar anak bangsa di meda sosial dan di berbagai media serta di-tiup2 terus , di-ulang2 terus oleh sebuah media TV , sehingga membesar dan besarnya pertentangan di masyarakat itu terus menerus dipertahankan oleh media TV tersebut . Hal ini jelas sekali menimbulkan situasi politik yang memanas dan selama 8 bulan terus menerus dunia media hanya diibukkan dengan isu2 pertemtangan antar anak bangsa sehingga lupa kepada isu2 besar yang lebih penting seperti membangun kesejahteraan rakyat , pendidikan , kesehatan , pembangunan ekonomi dsb Dari sini dapat terlihat betapa berbahayanya bila sebuah media massa terutama sebuah media TV telah menjadi TV partisan yang bisa memecah belah masyarakat . Seharusnya pemerintah tegas , bisa memberikan tindakan kepada TV seperti ini dengan misalnya larangan siaran satu minggu , satu bulan , atau mencabut ijin siarannya .


22 Mei 2017

Reply · Report Post